Diposting oleh Lzhr Artwork On 11.44
A.        Posmodernisme

            setiap pergantian era atau narasi kehidupan manusia selalu menimbulkan dan ditandai dengan kontroversi. Jika mengikuti tiga fase kehidupan manusia versi August Comte (Mistis, teologis, dan positivis), peralihan zaman dari mistis ke metafisis diguncang oleh munculnya agama. Agama ini yang menggantikan era mistis. Kasus penyalipan Jesus dan permusuhan Nabi Muhammad SAW adalah contoh bagaiman kemunculan zaman baru telah ditentang kelompok pro-status quo. Peralihan ke zaman positivis dari metafisis pun mengalami hal yang serupa. Galileo Galilei adalah korban kaum agamawan. Kini tahapan positivis menjelang ajal. Era postmodernisme siap mengambil alih pemegang tampuk peradaban manusia selanjutnya.
            Serupa dengan pergantian zaman yang lain, pergantian ke alam postmodernisme pun mengalami guncangan hebat. Postmodernisme dikecam; dicap keranjang sampah; dilabeli sebagai gerakan antimetode;  Pemikiran sempalan dan sebagainya. Persis ketika Galileo, Nicolas Copenicus dan ilmuwan lain membawa rezim positivisme yang kemudian menciptakan modernisme.
            postmodernisme pertama kali diapungkan oleh Frederico di Onis pada 1930-an dalam karyanya Antologia de la Poesia Expanola a Hispanoamericana.  Ia menyebutnya sebagai kritik terhadap sastra di Amerika Latin dan Prancis. Sejarahwan kondang Arnold Toynbee menggunakan istilah ini dalam A Breaf History. Menurutnya, fase postmodernisme ditandai dengan gejolak, perang, revolusi yang menimbulkan anarki, runtuhnya rasionalitas, dan pencerahan. Benih-benih pemikiran postmodernisme sudah ada sejak Thomas Kuhn melontarkan gagasan tentang paradigma. Sebuah formulasi untuk mendekati ilmu pengetahuan dari sisi yang tidak biasa dilakukan saat itu. Gagasan Kuhn tersebut dikenal dengan istilah The Structure of Saintific Revolution.
            Postmodernisme dalam konteks sosiologi (perkembangan masyarakat) pertama kali muncul di Amerika Serikat akhir 1980-an. DI Indonesia, ciri masyarakat postmodernisme dideteksi muncul pada era 1990-an. Masyarakat postmodernisme adalah masyarakat yang secara finansial, pengetahuan, relasi, dan semua prasyarat masyarakat modern terlampaui. Artinya gejala postmodernisme muncul di berbagai belahan dunia jika masyarakatnya sudah memiliki keterpenuhan material, namun ia kering dari sudut kekayaan batin seperti dikemukakan Burhan Bungin di muka. Karena modernisme berpilarkan rasio, ilmu, dan antropomorphisme.
            Keterpenuhan materi dan pada saat bersamaan menghadirkan kekosongan dimensi spiritualitas menumbuhkan berbagai gerakan yang bernuansa pencarian makna kehidupan (the meaning of life). Fenomena ini muncul karena manusia terus dipacu dan dipicu untuk memenuhi kebutuhan fisik-jasmani. Oleh sebab itu, kemunculan gerakan new age, child of god, dan merebaknya sekte spiritualitas merupakan salah satu indikasi kemuakan terhadap dunia materi yang diagung-agungkan modernisme.
            Gerakan new age merupakan kecenderungan ideologi (-ideologi) postmodernisme yang sangat plural dan ekspresi serta sikap antagonisme dalam sebuah relasi subordinasi. Ia membangun secara plural strategi-strategi revolusioner baru yang sesuai dengan semangat zaman dengan memfokuskan pada upaya pada tingkat wacana (discourse), kesadaran (consciousness), dan budaya (culture).
            Secara filosofis kegagalan modernitas memenuhi segala kebutuhan manusia menyebabkan kepanikan atau krisis epitemologi. Sosiologi agama Michael Baigent seperti dikutip Nurcholish Madjid yang mengapungkan istilah ini. Pada mulanya istilah tersebut bermakna adanya kesulitan umat beragama menjelaskan hubungan yang organik antara ilmu pengetahuan dan sistem keimanan. Akibatnya pemeluk agama gagal menemukan makna hidup yang merupakan tujuan akhir beragama. Krisis ini tidak mengenal agama, ras, etnis, dan geografis. Ia bersemayam dalam benak masyarakat yang kemudian melahirkan krisis multidimensi secara global. Dalam konteks itulah masyarakat –meminjam istilah Fritjof Capra—membutuhkan turning point (titik balik) untuk kembali kenilai hakiki kemanusiaannya.
            Krisis epistemologi muncul karena peralihan pemikiran, dari tradisi lama ke pola pikir baru. Namun pemahaman yang baru belum terformulasi secara komprehensif dan integral. Krisis tersebut tidak jarang menimbulkan benturan. Kehadiran Jaringan Islam Liberal (JIL), misalnya, cerminan dari kondisi peralihan tersebut. Wajar jika kehadiran JIL, ditentang oleh masyarakat agama yang berbeda pemahaman. Selain isu yang diusung kelompok JIL bersebrangan dengan maistrem, pun menggunakan metodologi yang berlainan dengan yang biasanya. Dalam konteks inilah, tawaran postmodernisme dengan berbagai ciri khasnya menemukan tautannya.
            Menurut Yasraf Amir Piliang, Kritik tehadap modernisme dilakukan dalam dua arah. Pertama, kritik diri (self-critism) seperti yang dilakukan Madhzab Frankfrut, Habermas, Adorno, Horkheimer, Marcuse yang mencari titik-titik kritis ideologis dari modernitas dalam rangka melanjutkan proyek modernitas yang belum rampung. Kedua, kritik dari luar modernitas atau yang ingin meruntuhkan modernitas yang dianggap telah kehilangan daya utopisnya. Nietzsche dan Heiddeger adalah yang mengawali kritik terhadap modernitas. Meski tidak menyebut postmodernisme, Nietzsche dan Heiddeger dianggap sebagai Bapak postmodernisme. Nietzsche melontarkan gagasan nihilisme dan Heiddeger dengan konsep tentang Ada (Being).
            Dalam catatan Pauline M. Rosenau ada lima alasan mengapa terjadi krisis dalam modernisme. Pertama, modernisme dinilai tidak bisa menghadirkan kehidupan masa depan ke kehidupan yang lebih baik seperti yang digembar-gemborkan para penganut sejatinya. Kedua, adanya kesewenang-wenangan dalam mempergunakan ilmu pengetahuan dan teknologi modern untuk melanggengkan kekuasaan. Ketiga, banyak pertentangan tajam antara teori dan fakta dalam kaidah ilmu modern. Keempat, ilmu pengetahuan dan teknologi modern gagal memecahkan problematika kemanusiaan. Dari sinilah muncul berbagai patologis sosial yang justru menghancurkan nilai kemanusiaan itu sendiri. Terakhir, aspek mistis dan metafisika terabaikan karena memberi perhatian lebih kepada dimensi fisik.
            Sedangkan Anthony Gidden dalam The Consequences of Modernity seperti dikutip Ali Maksum, menyebutkan beberapa sisi gelap modernitas. Antara lain, penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan masalah, penindasan oleh yang kuat kepada yang lemah, ketimpangan sosial, kerusakan lingkungan yang dipicu oleh kapitalisme, industrialisme, dan lemahnya negara. Inilah yang disebut Capra dengan krisis ekologi global.
            Filsuf Jean-Francois Lyotard  dalam The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1984) melihat modernitas sebagai fenomena budaya rasio. Modernitas dicirikan oleh serangkaian metanaratif atau “narasi besar,” yakni cerita-cerita yang meyakinkan tentang pembebasan progresif potensi manusia, buruh, sains, dan teknologi yang dilakukan rasio dan sejarah….walaupun janji tersebut terus menerus tertunda.
            Pada tataran praxis-operasional, Bambang Sugiharto mencatat empat kelemahan modernisme. Pertama, modernisme cenderung mengontrol dan mengendalikan dengan desain dan rekayasa. Kedua, rasionalitas modern mewujud berinkarnasi pada sosok birokrasi. Ketiga, rasionalitas modern mewujud dalam bentuk rasionalisme instrumental yang merupakan sukma kehidupan bisnis. Terakhir, fragmentasi. Yang jelas masyarakat postmodernisme kerap dipakai untuk mendeskripsikan masyarakat setelah era industri (post-industrial society), masyarakat yang dibangun oleh komputer (computer society), masyarakat yang sudah terjerumus pada konsumerisme (consumerism society), dan masyarakat yang dipenuhi dengan tanda (semiurgy society).
            Singkatnya latar belakang kemunculan postmodernisme dipicu modernisme yang menyimpan kebobrokan akut. Keburukan itu terbongkar dan disebarluaskan oleh media. Media akses, Khususnya, mempercepat tumbuh kembangnya postmodernisme, di satu sisi, dan senja kala bagi modernisme, pada pihak yang berlawanan. Pertanyaannya, apakah postmodernisme tidak akan mengulangi kesalahan modernisme yang mencampakan kemanusiaan? Waktulah yang akan menjawabnya.

Gejala Postmodernisme
Posmodernisme  merupakan gerakan kontemporer. Gerakan ini kuat dan modis. Namun, tidak jelas apa gerakan ini. Tidak hanya sulit mempraktikannya, bahkan sulit juga menolaknya. Oleh sebab itu, postmodernisme yang dianggap antitesis modernisme bukan saja proyeksi culture studies tetapi juga keniscayaan yang selalu mengelilingi dunia kita.
Dari sudut istilah postmodernisme mengandung masalah. Ia menyimpan ambiguitas dan ketidak jelasan sosok. Salah satunya penggunaan imbuhan “post” dan “isme”. Bila “post” digunakan “sesudah” atau “melepaskan diri”, pendekatan tersebut terlalu diametral, hitam putih. Dari sudut itu sebenarnya postmodernisme bukan lari dari paradigma modern, tetapi modern yang radikal. Mendefinisikan postmodernisme …hanyalah mengundang munculnya masalah-masalah. Mendefinisikan postmodernisme, sama artinya dengan mendefinisikan apa yang bukan postmodernisme---suatu kontradiksi logis.
Kata “post’ pada  postmodernisme sering dipahami sebagai “pasca” “sesudah” dalam pengertian urutan waktu, suatu kemajuan melampaui modernisme. Pemahaman tersebut salah kaprah karena postmodernisme justru sangat “anti” terhadap ide-ide kemajuan, emansipasi dan linearitas sejarah. Konsep tersebut justru ditelanjangi oleh pemikir ppostmodernisme seperti Lyotard. Foucault, dan Deridda. “Post” didefinisakn Lyotard sebagai pemutusan hubungan pemikiran total dari segala pola kemoderenan. Sedangkan Bambang Sugiharto lebih memilih istilah “most-modern” dari pada “post-modern”. Apakah postmodernisme adalah kelanjutan dari, raeksi terhadap, kritik atas, revolusi menentang, dekoinstruksi dari, perpecahan dengan, keterputusan dari, atau persimpangan dengan modernisme?
Yang paling mengagetkan adalah postmodernisme tidak bisa disefinisikan atau dikonseptualisasikan karena bertentangan dengan sesuatu yang sangat diharamkan oleh postmodernisme, yakni kesatuan. Postmodernisme merupakan warisan Sofis Yunani Kuno yang anti-kebenaran tunggal demi tersebarnya kebenaran partikular yang plural. Postmodernisme adalah geombang kritik paling muktahir terhadap modernisme yang menjadikan sains, rasionalitas suatu “teologi” baruyang menghasilkan kebudayaan matematis, kalkulatif, monolitik, dan kering batin.  Menurut Yasraf Amir Piliang postmodernisme adalah gerakan kebudayaan pada umumnya yang bercirikan penentangan terhadap rasionalisme, totalilianisme, dan universalisme serta kecendrungan kepada arah penghargaan akan keanekaragaman, pluralitas, kelimpahruahan, dan fragmentasi dengan menerima kontradiksi, banalitas, dan ironi di dalamnya.
Postmodernisme, ungkap Burhan Bungin, merupakan terminologi untuk mewakili suatu pergeseranwacana di berbagai bidang, seperti seni, arsitektue,
sosiologi, literatur, filsafat yang bereaksi keras terhadap wacana modernisme yang terlampaui mendewakan rasionalitas sehingga mengeringkan kehidupan dari kekayaan batin manusia.
Dalam arti yang umum postmodernisme bisa disefinisikan sebagai segala bentuk sikap kritis terhadap paradigma modern pada tingkat refleksi-teoritis maupun praktis-sosio kultiral saat ini. Misalnya, jika modernitas menekankan kepastian dan keakuratan sistem, postmodernitas menekankan ambiguitas realitas konkrit. Bila modernitas menekankan penciptaan baru, postmodernitas menekankan daur ulang. Bila modernitas menggunakan bahan baku besi beton, postmodernitas menggunakan plastik yang bisa didaur ulang. Jika modernitas menggunakan pita video untuk merekam realitas dan  alirannya, postmodernitas adalah pita video yang menangkap realitas dalam alirannya dan selalu bisa cepat dihapus lagi tanpa jejak. Jika postmodernitas lahir dari kandungan modernitas, postmodrnitas memiliki kecenderungan bertentangan dengan karakter, titah, dan style “orang tuanya.”
Singkat kata postmodernisme merupakan segala bentuk refleksi kritis atas segala paradigma-paradigma modern dan atas metafisika pada umumnya. Anti kemapaman dan perlawanan merupakan basis utama postmodernisme. Karena itulah sosoknya yang tidak jelas dan menyimpan ambiguitas, kata Gellner hampir mustahil memberi definisi apa tentang postmodernisme. Yang pasti ia adalah kepanikan, kesombongan, dan histeria subjektivitas.
Menurut Malcolm Bradbury seperti dikutip Ahmed, istilah postmodernisme sudah muncul 30 tahun lalu (berarti dalam konteks saat ini 50 tahun lalu). Tetapi hingga beberapa dekade istilah ini dipahami secara berbeda. Sedangkan Charles Jencks mrelihat istilah



AJARAN POKOK
Friksi kultural, kata Ahmed, di dunia kita adalah persoalan sentral dalam memahami ajaran postmodernisme. Karena persoalan, termasuk pertarungan, budaya inilah postmoderisme tidak terpisah dari studi tentang kebudayaan sebagai efek dari media massa. David Harvey (1989) seperti dikutipTony Thwaites dkk. Melihat estetika postmodernisme merayakan perbedaaan, kesementaraan, tontonan besar,fashion, dan komodifikasi bentuk-bentuk kultural.
Gagasan postmodernisme adalah semua yang ada adalah sebuah teks bahwa bahan pokoknya teks; apapun adalah makna-makna yang perlu di urai atau “didekonstruksi”, pandangan yang objektif perlu dicuriga; dan hermenetika (dipahami sebagai aliran filsafat yang bertujuan menafsirkan realitas sebagai teks) adalah nabinya.
Beberapa ciri yang bias didentifikasi antara lain, menghargai perbedaan, relativitas, keberagaman alasan membuka semua teori, tanpa titik akhir. Tetapi pada sisi lain relativitas ini pula yang menjadi kelemahan mendasar postmodernisme.Makanya para sejarahwan begitu sulit menentukan kaidah-kaidah dasar kesalahan sama susahnya dengan menentukan kaidah-kaidah  kebenaran . Kemerdekaan pribadi menjadi ukuran utama dan dalam dunia postmodernisme ukutan ini kian semakin tidak jelas
MODERNISME
POSTMODERNISME
Sentralisasi
Desentralisasi
Pertarungan Kelas
Pertarungan Etnis
Konstruksi
Dekonstruksi
Kultur
Sub-Kultur
Hermeneutis
Nihilisme
Budaya Tinggi
Budaya Rendah
Hierarki
Anarki
Industri
Pasca Industri
Teori
Paradigma
Kekuasaan Negara
Kekuatan Bersama
Agama
Sekte-sekte
Legimitasi
Delegimitasi
Konsensus
Dekonsensus
Budaya Tradisional
Liberalisme
Kontiunitis
Dekontinuitas

Secara sederhana ajaran pokok postmodernisme terdiri dari pertama menolak universalitas. Menurut kaum postmodernisme tidak ada konsep yang bias dipakai untuk semua umat manusia. Yang disodorkan adalah localize dan plutalistik. Trend ini juga merambah yang berkaitan dengan keyakinan atau agama.
Kedua, menolak ideologi. Bagi kaum postmodernisme ideologi yang ada, seperti liberalism, dan ideologi agama adalah palsu dan menyimpan kepentingan, khususnya kekuasaan. Makanya postmodernisme dengan tegas menolak prinsip-prinsip yang permanen sebuah ideologi
Ketiga, menolak obyektivitas.Bagi kaum postmodernisme menolak satu alat ukuran kebenaran bernama objectivitas. Kebenaran tidak bisa digeneralisir karena ia milik semua orang. Bahwa manusia menjadi pusat kebenaran. Kebenaran tergantung dari refleksi individu. Di luar manusia ada kebenaran tetapi manusialah yang menentukan dan menemukanya
Keempat, mengkritik semua jenis sumber ilmu pengetahuan. Prinsip kepastian dan sebab akibat, misalnya, diingkari dengan dalih bersifat relative. Semuanya tergantung pada subjek (manusia). Pengetahuan yang  terlanjur dianggap benar harus diuji terus menerus, dikritisi tanpa henti, dan dibongkarnya. Sebab bukan tidak mungkin dibalik kepastian terkandung ideologi dan kepentingan tertentu (vasted interst) yang merugikan.
Kelima, menolak metodologi yang tetap dan pasti. Bagi kaum postmodernisme, berbagai metodologi dan perangkat berfikir yang tersedia hanyalah salah satu bukan kepastian dan keharusan mengikuti metodologi yang ada. Makanya kritip yang kerap dilontarkan kepada pemikiran kaum postmodernisme adalah antimode; illogical; tidak memilki standar metode yang berlaku. Dari kekacauan metodologi inilah sebutan nihilisme dalam semua aspek muncul; Agama, Ideologi pemahaman, Logika dan Teks.

KARAKTERISTIK
Mengutip Lyotard,Ahmed, mengatakan ciri-ciri postmodernisme adalah memiliki keraguan terhadap metanaratif. Cara yang paling sederhana mengenal postmodernisme adalah mengetahui ciri-cirinya. Pertama, memahami postmodernitas berarti mengamsumsikan pertanyaan tentang hilangnya kepecayaan terhadap proyek modernitas
Kedua, postmodernisme bersamaan dengan era media; dalam banyak cara yang bersifat mendasar, medi adalah dinamika sentral.
Ketiga, kaitan postmodernisme dengan revivalisme etno religius atau fundamentalisme perlu di telaah ilmuan sosial politik.
Keempat, walaupun apokaliptiknya klaim itu kontinuitas dengan masa lalu tetap merupakan ciri khas postmodernisme
Kelima, karena sebagian penduduk menempati wilayah perkotaan, dan sebagian besar lagi di pengaruhi ide-ide yang berkembang dalam wilayah ini, metropolis menjadi sentral bagi postmodernisme
Keenam, terdapat elemen kelas dalam postmodernisme dan demokrasi merupakan syarat mutlak bagi perkembanganya
Ketujuh, postmodernisme memberikan peluang, bahkan mendorong penjajaran wancana eklestisme berlebihan, percampuran berbagai citra

Kedelapan, ide tentang bahasa sederhana terkadang terlewatkan oleh ahli postmodernisme, meskipun mereka mengklaim dapat menjangkaunya

0 Responses to ' '

Posting Komentar