A. Posmodernisme
setiap pergantian era atau narasi kehidupan manusia
selalu menimbulkan dan ditandai dengan kontroversi. Jika mengikuti tiga fase
kehidupan manusia versi August Comte (Mistis, teologis, dan positivis),
peralihan zaman dari mistis ke metafisis diguncang oleh munculnya agama. Agama
ini yang menggantikan era mistis. Kasus penyalipan Jesus dan permusuhan Nabi
Muhammad SAW adalah contoh bagaiman kemunculan zaman baru telah ditentang
kelompok pro-status quo. Peralihan ke zaman positivis dari metafisis pun
mengalami hal yang serupa. Galileo Galilei adalah korban kaum agamawan. Kini
tahapan positivis menjelang ajal. Era postmodernisme siap mengambil alih
pemegang tampuk peradaban manusia selanjutnya.
Serupa dengan
pergantian zaman yang lain, pergantian ke alam postmodernisme pun mengalami
guncangan hebat. Postmodernisme dikecam; dicap keranjang sampah; dilabeli
sebagai gerakan antimetode; Pemikiran
sempalan dan sebagainya. Persis ketika Galileo, Nicolas Copenicus dan ilmuwan
lain membawa rezim positivisme yang kemudian menciptakan modernisme.
postmodernisme pertama kali diapungkan oleh Frederico di
Onis pada 1930-an dalam karyanya Antologia
de la Poesia Expanola a Hispanoamericana.
Ia menyebutnya sebagai kritik terhadap sastra di Amerika Latin dan
Prancis. Sejarahwan kondang Arnold Toynbee menggunakan istilah ini dalam A Breaf History. Menurutnya, fase
postmodernisme ditandai dengan gejolak, perang, revolusi yang menimbulkan
anarki, runtuhnya rasionalitas, dan pencerahan. Benih-benih pemikiran
postmodernisme sudah ada sejak Thomas Kuhn melontarkan gagasan tentang
paradigma. Sebuah formulasi untuk mendekati ilmu pengetahuan dari sisi yang
tidak biasa dilakukan saat itu. Gagasan Kuhn tersebut dikenal dengan istilah The Structure of Saintific Revolution.
Postmodernisme dalam konteks sosiologi (perkembangan
masyarakat) pertama kali muncul di Amerika Serikat akhir 1980-an. DI Indonesia,
ciri masyarakat postmodernisme dideteksi muncul pada era 1990-an. Masyarakat
postmodernisme adalah masyarakat yang secara finansial, pengetahuan, relasi,
dan semua prasyarat masyarakat modern terlampaui. Artinya gejala postmodernisme
muncul di berbagai belahan dunia jika masyarakatnya sudah memiliki keterpenuhan
material, namun ia kering dari sudut kekayaan batin seperti dikemukakan Burhan
Bungin di muka. Karena modernisme berpilarkan rasio, ilmu, dan
antropomorphisme.
Keterpenuhan materi dan pada saat bersamaan menghadirkan
kekosongan dimensi spiritualitas menumbuhkan berbagai gerakan yang bernuansa
pencarian makna kehidupan (the meaning of
life). Fenomena ini muncul karena manusia terus dipacu dan dipicu untuk
memenuhi kebutuhan fisik-jasmani. Oleh sebab itu, kemunculan gerakan new age, child of god, dan merebaknya
sekte spiritualitas merupakan salah satu indikasi kemuakan terhadap dunia
materi yang diagung-agungkan modernisme.
Gerakan new age
merupakan kecenderungan ideologi (-ideologi) postmodernisme yang sangat plural
dan ekspresi serta sikap antagonisme dalam sebuah relasi subordinasi. Ia
membangun secara plural strategi-strategi revolusioner baru yang sesuai dengan
semangat zaman dengan memfokuskan pada upaya pada tingkat wacana (discourse),
kesadaran (consciousness), dan budaya (culture).
Secara filosofis kegagalan modernitas memenuhi segala
kebutuhan manusia menyebabkan kepanikan atau krisis epitemologi. Sosiologi
agama Michael Baigent seperti dikutip Nurcholish Madjid yang mengapungkan
istilah ini. Pada mulanya istilah tersebut bermakna adanya kesulitan umat
beragama menjelaskan hubungan yang organik antara ilmu pengetahuan dan sistem
keimanan. Akibatnya pemeluk agama gagal menemukan makna hidup yang merupakan
tujuan akhir beragama. Krisis ini tidak mengenal agama, ras, etnis, dan
geografis. Ia bersemayam dalam benak masyarakat yang kemudian melahirkan krisis
multidimensi secara global. Dalam konteks itulah masyarakat –meminjam istilah Fritjof
Capra—membutuhkan turning point (titik balik) untuk kembali kenilai hakiki
kemanusiaannya.
Krisis epistemologi muncul karena peralihan pemikiran,
dari tradisi lama ke pola pikir baru. Namun pemahaman yang baru belum
terformulasi secara komprehensif dan integral. Krisis tersebut tidak jarang
menimbulkan benturan. Kehadiran Jaringan Islam Liberal (JIL), misalnya,
cerminan dari kondisi peralihan tersebut. Wajar jika kehadiran JIL, ditentang
oleh masyarakat agama yang berbeda pemahaman. Selain isu yang diusung kelompok
JIL bersebrangan dengan maistrem, pun menggunakan metodologi yang berlainan
dengan yang biasanya. Dalam konteks inilah, tawaran postmodernisme dengan
berbagai ciri khasnya menemukan tautannya.
Menurut Yasraf Amir Piliang, Kritik tehadap modernisme
dilakukan dalam dua arah. Pertama, kritik diri (self-critism) seperti yang
dilakukan Madhzab Frankfrut, Habermas, Adorno, Horkheimer, Marcuse yang mencari
titik-titik kritis ideologis dari modernitas dalam rangka melanjutkan proyek
modernitas yang belum rampung. Kedua, kritik dari luar modernitas atau yang
ingin meruntuhkan modernitas yang dianggap telah kehilangan daya utopisnya.
Nietzsche dan Heiddeger adalah yang mengawali kritik terhadap modernitas. Meski
tidak menyebut postmodernisme, Nietzsche dan Heiddeger dianggap sebagai Bapak
postmodernisme. Nietzsche melontarkan gagasan nihilisme dan Heiddeger dengan
konsep tentang Ada (Being).
Dalam catatan Pauline M. Rosenau ada lima alasan mengapa
terjadi krisis dalam modernisme. Pertama, modernisme dinilai tidak bisa
menghadirkan kehidupan masa depan ke kehidupan yang lebih baik seperti yang
digembar-gemborkan para penganut sejatinya. Kedua, adanya kesewenang-wenangan
dalam mempergunakan ilmu pengetahuan dan teknologi modern untuk melanggengkan
kekuasaan. Ketiga, banyak pertentangan tajam antara teori dan fakta dalam
kaidah ilmu modern. Keempat, ilmu pengetahuan dan teknologi modern gagal
memecahkan problematika kemanusiaan. Dari sinilah muncul berbagai patologis
sosial yang justru menghancurkan nilai kemanusiaan itu sendiri. Terakhir, aspek
mistis dan metafisika terabaikan karena memberi perhatian lebih kepada dimensi
fisik.
Sedangkan Anthony Gidden dalam The Consequences of Modernity seperti dikutip Ali Maksum,
menyebutkan beberapa sisi gelap modernitas. Antara lain, penggunaan kekerasan
dalam menyelesaikan masalah, penindasan oleh yang kuat kepada yang lemah,
ketimpangan sosial, kerusakan lingkungan yang dipicu oleh kapitalisme,
industrialisme, dan lemahnya negara. Inilah yang disebut Capra dengan krisis
ekologi global.
Filsuf Jean-Francois Lyotard dalam The
Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1984) melihat modernitas
sebagai fenomena budaya rasio. Modernitas dicirikan oleh serangkaian
metanaratif atau “narasi besar,” yakni cerita-cerita yang meyakinkan tentang
pembebasan progresif potensi manusia, buruh, sains, dan teknologi yang
dilakukan rasio dan sejarah….walaupun janji tersebut terus menerus tertunda.
Pada tataran praxis-operasional, Bambang Sugiharto
mencatat empat kelemahan modernisme. Pertama, modernisme cenderung mengontrol
dan mengendalikan dengan desain dan rekayasa. Kedua, rasionalitas modern
mewujud berinkarnasi pada sosok birokrasi. Ketiga, rasionalitas modern mewujud
dalam bentuk rasionalisme instrumental yang merupakan sukma kehidupan bisnis.
Terakhir, fragmentasi. Yang jelas masyarakat postmodernisme kerap dipakai untuk
mendeskripsikan masyarakat setelah era industri (post-industrial society),
masyarakat yang dibangun oleh komputer (computer society), masyarakat yang sudah
terjerumus pada konsumerisme (consumerism society), dan masyarakat yang
dipenuhi dengan tanda (semiurgy society).
Singkatnya latar belakang kemunculan postmodernisme
dipicu modernisme yang menyimpan kebobrokan akut. Keburukan itu terbongkar dan
disebarluaskan oleh media. Media akses, Khususnya, mempercepat tumbuh
kembangnya postmodernisme, di satu sisi, dan senja kala bagi modernisme, pada
pihak yang berlawanan. Pertanyaannya, apakah postmodernisme tidak akan
mengulangi kesalahan modernisme yang mencampakan kemanusiaan? Waktulah yang
akan menjawabnya.
Gejala Postmodernisme
Posmodernisme merupakan gerakan kontemporer. Gerakan ini
kuat dan modis. Namun, tidak jelas apa gerakan ini. Tidak hanya sulit
mempraktikannya, bahkan sulit juga menolaknya. Oleh sebab itu, postmodernisme
yang dianggap antitesis modernisme bukan saja proyeksi culture studies tetapi
juga keniscayaan yang selalu mengelilingi dunia kita.
Dari sudut istilah
postmodernisme mengandung masalah. Ia menyimpan ambiguitas dan ketidak jelasan
sosok. Salah satunya penggunaan imbuhan “post” dan “isme”. Bila “post”
digunakan “sesudah” atau “melepaskan diri”, pendekatan tersebut terlalu
diametral, hitam putih. Dari sudut itu sebenarnya postmodernisme bukan lari
dari paradigma modern, tetapi modern yang radikal. Mendefinisikan
postmodernisme …hanyalah mengundang munculnya masalah-masalah. Mendefinisikan
postmodernisme, sama artinya dengan mendefinisikan apa yang bukan postmodernisme---suatu
kontradiksi logis.
Kata “post’ pada postmodernisme sering dipahami sebagai
“pasca” “sesudah” dalam pengertian urutan waktu, suatu kemajuan melampaui
modernisme. Pemahaman tersebut salah kaprah karena postmodernisme justru sangat
“anti” terhadap ide-ide kemajuan, emansipasi dan linearitas sejarah. Konsep tersebut
justru ditelanjangi oleh pemikir ppostmodernisme seperti Lyotard. Foucault, dan
Deridda. “Post” didefinisakn Lyotard sebagai pemutusan hubungan pemikiran total
dari segala pola kemoderenan. Sedangkan Bambang Sugiharto lebih memilih istilah
“most-modern” dari pada “post-modern”. Apakah postmodernisme adalah kelanjutan dari, raeksi terhadap, kritik
atas, revolusi menentang, dekoinstruksi dari, perpecahan dengan, keterputusan
dari, atau persimpangan dengan modernisme?
Yang paling mengagetkan
adalah postmodernisme tidak bisa disefinisikan atau dikonseptualisasikan karena
bertentangan dengan sesuatu yang sangat diharamkan oleh postmodernisme, yakni
kesatuan. Postmodernisme merupakan warisan Sofis Yunani Kuno yang
anti-kebenaran tunggal demi tersebarnya kebenaran partikular yang plural.
Postmodernisme adalah geombang kritik paling muktahir terhadap modernisme yang
menjadikan sains, rasionalitas suatu “teologi” baruyang menghasilkan kebudayaan
matematis, kalkulatif, monolitik, dan kering batin. Menurut Yasraf Amir Piliang postmodernisme
adalah gerakan kebudayaan pada umumnya yang bercirikan penentangan terhadap
rasionalisme, totalilianisme, dan universalisme serta kecendrungan kepada arah
penghargaan akan keanekaragaman, pluralitas, kelimpahruahan, dan fragmentasi
dengan menerima kontradiksi, banalitas, dan ironi di dalamnya.
Postmodernisme, ungkap
Burhan Bungin, merupakan terminologi untuk mewakili suatu pergeseranwacana di
berbagai bidang, seperti seni, arsitektue,
sosiologi, literatur,
filsafat yang bereaksi keras terhadap wacana modernisme yang terlampaui
mendewakan rasionalitas sehingga mengeringkan kehidupan dari kekayaan batin
manusia.
Dalam arti yang umum
postmodernisme bisa disefinisikan sebagai segala bentuk sikap kritis terhadap
paradigma modern pada tingkat refleksi-teoritis maupun praktis-sosio kultiral
saat ini. Misalnya, jika modernitas menekankan kepastian dan keakuratan sistem,
postmodernitas menekankan ambiguitas realitas konkrit. Bila modernitas
menekankan penciptaan baru, postmodernitas menekankan daur ulang. Bila
modernitas menggunakan bahan baku besi beton, postmodernitas menggunakan
plastik yang bisa didaur ulang. Jika modernitas menggunakan pita video untuk
merekam realitas dan alirannya, postmodernitas
adalah pita video yang menangkap realitas dalam alirannya dan selalu bisa cepat
dihapus lagi tanpa jejak. Jika postmodernitas lahir dari kandungan modernitas,
postmodrnitas memiliki kecenderungan bertentangan dengan karakter, titah, dan
style “orang tuanya.”
Singkat kata
postmodernisme merupakan segala bentuk refleksi kritis atas segala
paradigma-paradigma modern dan atas metafisika pada umumnya. Anti kemapaman dan
perlawanan merupakan basis utama postmodernisme. Karena itulah sosoknya yang
tidak jelas dan menyimpan ambiguitas, kata Gellner hampir mustahil memberi
definisi apa tentang postmodernisme. Yang pasti ia adalah kepanikan,
kesombongan, dan histeria subjektivitas.
Menurut Malcolm
Bradbury seperti dikutip Ahmed, istilah postmodernisme sudah muncul 30 tahun
lalu (berarti dalam konteks saat ini 50 tahun lalu). Tetapi hingga beberapa
dekade istilah ini dipahami secara berbeda. Sedangkan Charles Jencks mrelihat
istilah
AJARAN
POKOK
Friksi
kultural, kata Ahmed, di dunia kita adalah persoalan sentral dalam memahami
ajaran postmodernisme. Karena persoalan, termasuk pertarungan, budaya inilah
postmoderisme tidak terpisah dari studi tentang kebudayaan sebagai efek dari
media massa. David Harvey (1989) seperti dikutipTony Thwaites dkk. Melihat
estetika postmodernisme merayakan perbedaaan, kesementaraan, tontonan
besar,fashion, dan komodifikasi bentuk-bentuk kultural.
Gagasan postmodernisme adalah
semua yang ada adalah sebuah teks bahwa bahan pokoknya teks; apapun adalah
makna-makna yang perlu di urai atau “didekonstruksi”, pandangan yang objektif
perlu dicuriga; dan hermenetika (dipahami sebagai aliran filsafat yang
bertujuan menafsirkan realitas sebagai teks) adalah nabinya.
Beberapa
ciri yang bias didentifikasi antara lain, menghargai perbedaan, relativitas,
keberagaman alasan membuka semua teori, tanpa titik akhir. Tetapi pada sisi
lain relativitas ini pula yang menjadi kelemahan mendasar
postmodernisme.Makanya para sejarahwan begitu sulit menentukan kaidah-kaidah
dasar kesalahan sama susahnya dengan menentukan kaidah-kaidah kebenaran . Kemerdekaan pribadi menjadi
ukuran utama dan dalam dunia postmodernisme ukutan ini kian semakin tidak jelas
MODERNISME
|
POSTMODERNISME
|
Sentralisasi
|
Desentralisasi
|
Pertarungan Kelas
|
Pertarungan Etnis
|
Konstruksi
|
Dekonstruksi
|
Kultur
|
Sub-Kultur
|
Hermeneutis
|
Nihilisme
|
Budaya Tinggi
|
Budaya Rendah
|
Hierarki
|
Anarki
|
Industri
|
Pasca Industri
|
Teori
|
Paradigma
|
Kekuasaan Negara
|
Kekuatan Bersama
|
Agama
|
Sekte-sekte
|
Legimitasi
|
Delegimitasi
|
Konsensus
|
Dekonsensus
|
Budaya Tradisional
|
Liberalisme
|
Kontiunitis
|
Dekontinuitas
|
Secara
sederhana ajaran pokok postmodernisme terdiri dari pertama menolak
universalitas. Menurut kaum postmodernisme tidak ada konsep yang bias dipakai
untuk semua umat manusia. Yang disodorkan adalah localize dan plutalistik. Trend ini juga merambah yang berkaitan
dengan keyakinan atau agama.
Kedua,
menolak ideologi. Bagi kaum postmodernisme ideologi yang ada, seperti
liberalism, dan ideologi agama adalah palsu dan menyimpan kepentingan,
khususnya kekuasaan. Makanya postmodernisme dengan tegas menolak
prinsip-prinsip yang permanen sebuah ideologi
Ketiga,
menolak obyektivitas.Bagi kaum postmodernisme menolak satu alat ukuran
kebenaran bernama objectivitas. Kebenaran tidak bisa digeneralisir karena ia
milik semua orang. Bahwa manusia menjadi pusat kebenaran. Kebenaran tergantung
dari refleksi individu. Di luar manusia ada kebenaran tetapi manusialah yang
menentukan dan menemukanya
Keempat, mengkritik
semua jenis sumber ilmu pengetahuan. Prinsip kepastian dan sebab akibat,
misalnya, diingkari dengan dalih bersifat relative. Semuanya tergantung pada
subjek (manusia). Pengetahuan yang
terlanjur dianggap benar harus diuji terus menerus, dikritisi tanpa
henti, dan dibongkarnya. Sebab bukan tidak mungkin dibalik kepastian terkandung
ideologi dan kepentingan tertentu (vasted interst) yang merugikan.
Kelima,
menolak metodologi yang tetap dan pasti. Bagi kaum postmodernisme, berbagai
metodologi dan perangkat berfikir yang tersedia hanyalah salah satu bukan
kepastian dan keharusan mengikuti metodologi yang ada. Makanya kritip yang
kerap dilontarkan kepada pemikiran kaum postmodernisme adalah antimode; illogical; tidak memilki standar metode
yang berlaku. Dari kekacauan metodologi inilah sebutan nihilisme dalam semua
aspek muncul; Agama, Ideologi pemahaman, Logika dan Teks.
KARAKTERISTIK
Mengutip Lyotard,Ahmed, mengatakan
ciri-ciri postmodernisme adalah memiliki keraguan terhadap metanaratif. Cara
yang paling sederhana mengenal postmodernisme adalah mengetahui ciri-cirinya. Pertama, memahami postmodernitas berarti
mengamsumsikan pertanyaan tentang hilangnya kepecayaan terhadap proyek
modernitas
Kedua,
postmodernisme bersamaan dengan era
media; dalam banyak cara yang bersifat mendasar, medi adalah dinamika sentral.
Ketiga,
kaitan postmodernisme dengan revivalisme etno religius atau fundamentalisme
perlu di telaah ilmuan sosial politik.
Keempat,
walaupun apokaliptiknya klaim itu
kontinuitas dengan masa lalu tetap merupakan ciri khas postmodernisme
Kelima,
karena sebagian penduduk menempati
wilayah perkotaan, dan sebagian besar lagi di pengaruhi ide-ide yang berkembang
dalam wilayah ini, metropolis menjadi sentral bagi postmodernisme
Keenam,
terdapat elemen kelas dalam
postmodernisme dan demokrasi merupakan syarat mutlak bagi perkembanganya
Ketujuh,
postmodernisme memberikan peluang,
bahkan mendorong penjajaran wancana eklestisme berlebihan, percampuran berbagai
citra
Kedelapan,
ide tentang bahasa sederhana terkadang
terlewatkan oleh ahli postmodernisme, meskipun mereka mengklaim dapat
menjangkaunya
0 Responses to ' '
Posting Komentar